“Armand, mama dikasih tahu Bank nih! Katanya sukuknya udah selesai gitu? Jatuh tempo katanya? Terus gimana ini ya? Sebaiknya diapakan dananya ya?”, begitu tanya Ibu saya ketika Sukuk Ritel seri SR-011 yang dimiliki beliau jatuh tempo bulan Maret lalu.

Being a good son, and ofcourse wanting to showcase my knowledge as CIO, saya pun menjawab dengan penuh antusias, menjabarkan dengan (rasanya) tepat apa itu surat utang pemerintah yang berbasis syariah, risiko-risikonya dan tentu pilihan-pilihan lain yang ada untuk reinvestasi dana Ibu saya tadi. Hampir seperti market update kepada nasabah potensial, dengan berapi-api saya menjelaskan segalanya, mulai dari hal-hal yang berbau ekonomi dan politik, gosip-gosip pasar modal, maupun cerita sukses dari beberapa teman. Tak lupa tentunya, saya juga jualan reksadana yang kami kelola, menceritakan semua proses investasinya, pemilihan saham dan surat utangnya dan tentu potensi keuntungan dari target harga saham-saham yang kami pilih.

Mendengar ini semua, sedikit bingung, Ibu saya bertanya, “Jadi ini baguslah ya? Ngga bakalan turun lah ya?” 

Jleb. 

Agak lama saya terdiam. Lalu pelan-pelan menjawab, “Yaa, ada kemungkinan turun sih mom. Tapi kalo didiamin aja, jangka panjang harusnya akan naik melebihi sukuk ritel tadi. Apalagi deposito. Itukan kecil sekali returnnya, mom.” 

Ibu saya menjawab, “Wah ngga mau lah mama kalo gitu. Mending yang pasti-pasti aja. Deposito bank aja lagi. Ngga papa kecil, yang penting naik terus kan?”

Saya pun menyerah (dan sedikit kecewa karena gagal jualan), “Ya udah mom, besok Armand antarin ke bank.”

Keesokannya di bank, kami pun berjumpa dengan customer service yang memang sudah beberapa kali membantu Ibu saya bertransaksi. Being a good employee, customer service memperkenalkan Ibu saya dengan salah satu petugas yang memasarkan produk unit link di bank tersebut. Seperti saya, dengan berapi-api beliau pun menjelaskan segala sesuatunya terkait produk unit link, lengkap dengan tambahan bumbu manfaat proteksi dan lain-lain. Saya terus terang banyak belajar juga dan sangat kagum dengan cara beliau menjelaskan. Lengkap, sopan dan in a way, sesuai bahasanya sehingga mudah dimengerti oleh Ibu saya (bukan bahasa CIO yang tadi malam saya pakai). But, memang Ibu saya (she’s +70 by the way) cukup keras pendiriannya, beliau tidak bergeming dan tetap memutuskan untuk melakukan penempatan pada deposito. Setelah selesai kami pun pulang. Ibu saya terlihat senang menggenggam bilyet deposito dengan informasi: 2% pertahun (gross).

Beberapa minggu berlalu, suatu ketika saya ditanya kembali oleh Ibu saya, “Ini perusahaan yang terkenal itu ya Mand? Punya siapa itu? Rugi ya? Armand beli juga ini?”

Sambil berusaha mencerna, saya jawab, “Iya mom, ini dulu perusahaan yang didirikan oleh si anak muda itu dan kawan-kawan. Terus setelah bergabung dengan perusahaan muda yang lain, dan mereka masuk ke bursa efek, mom. Setelah masuk, kemudian harga sahamnya ya mengikut permintaan jual dan beli dari investor. Kalo banyak yang mau jual, ya kemungkinan harganya turun, mom. Kami sih belum beli saham ini. Waktu itu ketika didiskusikan ditim kami, sepertinya belum bisa dimasukkan ke list saham-saham yang bisa kami beli, mom.”

I stop for a while to see her reaction.

“Itulah makanya! Kan mama udah bilang deposito aja! Aman! Lain kali dengarin mama lahh! Jangan yang risiko-risiko gitu lah, Armand! Beli yang kita tahu-tahu aja!”

Jleb. Saya pun tertunduk tapi tentunya sangat setuju dengan yang beliau fatwakan. 

Always Buy What You Know. 

Yes Mom!

Photo credits: Julianna Brion, The New York Times